Merbabu, Sebuah Upaya Merawat Ingatan

Hampir dua tahun kaki aku tidak menapak sebuah gunung. Terakhir kalinya adalah Merapi yang aku sambangi untuk kedua kalinya itupun akibat desakan kawan ku yang jauh jauh datang dari Jakarta. Memang pada tahun 2017 aku sempat ke Gunung Andong, tapi perjalanan santai selama satu jam ke puncak nyatanya tidak bisa mengobati rinduku untuk menjejakan kaki di atas awan. Sempat seorang kawan mengajakku menyambangi Gunung Lawu, tapi apa daya pada hari yang direncanakan tubuhku tidak bisa diajak berkompromi. Kombinasi batuk pilek demam dan sakit kepala membuatku harus membatalkan rencana meski tas sudah terpacking rapi.

Harapan memang kadang harus tertunda dan kadang pula berputar putar di tempat yang sama. Petengahan tahun seorang kawan yang menghubungiku dan mengajak untuk menyambangi Merbabu. Tentu aku tidak terlalu tertarik dengan tawarannya, mengingat aku pernah mendatangi gunung tua itu. Sebagai gantinya aku menawarkan Gunung Lawu di perbatasan dua Tanah Jawa sebagai alternative nya. Sepertinya dia tidak menyetujui usulku. Meskipun aku mencoba meyakinkannya, dia tetap pada pendiriannya. Akupun akhirnya mengalah dan mengikutinya ke Merbabu. Ada tujuh orang yang hendak ikut mendaki terangnya.

Sekilas ingatan ku kembali ke saat pertama kali menyambangi Gunung Merbabu. Saat itu tak ada rencana, hingga tiba tiba seorang kawan mengajakku ke sana. Awalnya aku menolak karena selain sepatu, semua peralatan ku tinggal di Jakarta. Tapi kawanku meyakinkanku bahwa alat alat yg dibutuhkan bisa menyewa, sisanya improvisasi. Akhirnya kami berangkat berdua dengan peralatan dan bekal seadanya, bahkan dalam perjalanan itu kami terus bertanya tanya tentang apa yang mungkin terlupa. Karena jujur saja, meskipun kami merencanakan untuk membuka tenda tapi beban ransel kami terlampau ringan dan tidak seperti biasanya.

Awalnya aku tidak begitu memperdulikan soal perjalanan kali ini karena aku mengira hanya aku dan kawanku itu yang akan berangkat. Tapi begitu dia bilang ada tujuh orang yang akan naik, aku segera tahu bahwa ada beberapa hal yang harus dipikirkan. Meskipun akhirnya jumlahnya turun menjadi lima orang, tetap saja ada lima perut yang harus terisi. Tetap saja ada sepuluh kaki yang harus berjalan dan tetap saja ada lima kepala yang harus berteduh.

Anggota team di basecamp Suwanting. Dari kiri Rifqy, saya, Mas Eno(driver, tidak mendaki), Nata, Aan Kabul, Hannif.

Sudah dua tahun aku tidak mendaki, entah bagaimana badan ini akan bereaksi dan apakah kaki ini masih sanggup dipaksa menapak? Semua menjadi pertanyaan, salah satu hal yang masih mengganjal, dengan siapa kali ini aku akan pergi. Selama ini aku selalu mendaki dengan orang orang yang sudah ku kenal. Orang orang sudah ku hafali tabiat nya, sehingga tanpa perlu bicara panjang lebar kami tahu apa yang harus dilakukan. Untuk beberapa saat aku mencoba memikirkannya tapi aku mencoba berfikir sederhana bahwa mereka juga orang yang berpengalaman dan aku tinggal menyesuaikan saja.

Let it be and everything will be fine.

Setelah sekali bertemu dengan anggota tim, kami pun berangkat pada hari yang disepakati. Ransel 45 liter itu ku isi hingga penuh, entah apa saja isinya. Aku pun mengiyakan apa saja kebutuhan kelompok yang harus ku bawa. Sementara aku masih saja berharap agar aku hanya membawa tak lebih dari 25 liter walau jaket dan sleeping bag akhirnyalah yang tetap mendominasi isi tasku. Kuperhatikan ransel kawan kawanku, lebih besar dan berat karena tenda yang terpacking di dalamya. Tak butuh waktu lama bagi mobil yang kami carter untuk mencapai basecamp Suwanting. Di sana kami menyempatkan diri untuk sarapan dan mengatur ulang bawaan kami. Seorang kawan kami menyempatkan untuk berbincang bincang dengan salah satu pengelola jalur tersebut.

Sejak awal kabut sudah menemani perjalanan kami.

Memasuki area taman Nasional Gn. Merbabu

Perjalanan kami mulai dengan melintasi lahan pertanian warga. Tak banyak orang yang mengambil jalur yang kami tempuh, hanya beberapa tim saja yang kami temui. Sekilas mengingatkanku pada pendakian Gunung Salak beberapa tahun silam. Saat itu hanya satu team yang kami temui selama perjalanan, benar benar gunung yang sunyi. Tak berapa lama melintasi ladang warga, hutan pinus menyambut kami. Sementara kabut perlahan turun mengisi sela sela pepohonan dan lembah.

Jalur Suwanting ini memang relatif baru dibanding dengan jalur jalur lainnya. Perjalanan ku ke Merbabu sebelumnya melintasi jalur Wekas yang relatif lebih pendek walau memiliki kemiringan yang kurang lebih sama. Aku berharap untuk dapat mencapai Pos 3 dimana kami akan mendirikan tenda sebelum waktu Ashar tiba. Namun perjalanan ini tentu beda, aku harus menyesuaikan irama langkah dengan team yang baru, agar stamina kami tidak segera terkuras. Meskipun panjang track yang akan kami tempuh hanya sekitar lima kilo meter, tapi kontur yang terus menanjak dengan kemiringan lebih dari 45% akhirnya sukses membuatku mengekstimasi ulang perkiraanku. Aku tentu tidak bisa seenaknya tancap gas dan berjalan lebih cepat di depan karena aku datang sebagai bagian dari team. Sedangkan Gunung Merbabu juga bisa berubah menjadi labyrinth yang akan menyesatkan pendakinya yang ceroboh. Belum terlalu lama seorang pendaki hilang selama seminggu dan akhirnya ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah jurang.

Hutan pinus menyambut perjalanan kami.

Kabut semakin pekat dan akhirnya hujan pun turun. Kami memutuskan untuk rehat sejenak memulihkan tenaga dan mengisi perut kami yang mulai berontak. Kini kami harus menghadapi medan yang lebih sulit akibat tanah yang menjadi licin terkena air. Semantara kabut seolah enggan pergi dan menutup pandangan kami sebatas hutan dan pepohonan. Tak kami lihat lembah menganga di samping kiri kami ataupun Merapi yang sedang ingin menyendiri di belakang kami. Demikian pula puncak Merbabu yang hendak kami sambangi. Kami hanya melihat di kejauhan seolah olah pohon hilang dibalik tirai putih kelabu. Jalan setapak yang menanjak tak jarang membuat kami kepayahan dan mengarahkan segala upaya untuk sekedar maju beberapa langkah. Sementara tangan kami sering harus berpegang pada dahan, akar atau bahkan tali yang ada di beberapa titik. Sepintas ingatan kembali pada pendakianku melalui Wekas. Saat itu kami berangkat sehabis sholat Dzuhur dengan kondisi medan yang nyaris sama, staminaku langsung anjlok di awal. Belum juga keluar dari desa terakhir, nafasku sudah terengah engah. Aku segera merebahkan badan ku di tepian jalan dan tertidur sekitar setengah jam.

Kabut yang semakin pekat bahkan hujan pun sempat turun.

Di beberapa titik tanjakan sengaja dipasang tali oleh pengelola jalur untuk memudahkan pendakian.

Setapak demi setapak kami lalui sembari mengatur nafas, aku sadar sudah bukan remaja lagi. Akhirnya kami sampai di Pos 3, setelah hampir seharian berjalan dan diselingi beberapa kali istirahat. Tenda segera didirikan, ransel kami bongkar dan pembicaraan ke puncak serta perjalanan turun segera menjadi topik disela sela makan malam.

Pos 3 tempat kami bermalam sebelum ke puncak.

Pendakian pertamaku via Wekas relatif lebih cepat. Tentu karena bawaanku yang tak lebih dari 25 liter. Selain itu kami berjalan dengan ritme yang lebih cepat. Meskipun kami berulang kali beristirahat akhirnya kami tiba di Pos 2 untuk mendirikan tenda sekitar waktu Ashar. Kami memilih Pos 2 karena lokasi yang terlindung vegetasi juga mudahnya mendapatkan air di sana. Kami mengantisipasi jika nanti malam cuaca berubah dan hujan turun. Selain itu tenda yang kami sewa sepertinya tidak didesain untuk menghadapi hujan badai. Berbagai improvisasi kami lakukan, seperti menaruh poncho di atas tenda dan membuat parit dangkal di sekelilingnya. Beberapa kelompok memutuskan untuk berkemah di Pos selanjutnya tapi kami tidak mengetahui bagaimana kondisinya.

Kombinasi langit cerah, bulan mati dan bintang menemani pendakian via Wekas

Bagi yang sudah kedua kalinya ke Merbabu, puncak bukanlah suatu tuntutan tapi tentu hal ini berbeda bagi kawan kawan lainnya yang belum ke puncak. Perjalanan ke puncak sendiri masih sekitar dua jam. Perhatian terbesar kami tertuju pada perjalanan turun, jika harus melalui jalur yang sama sudah terbayang bagaimana kondisi jalur yang mungkin sudah diguyur hujan. Kami akhirnya memutuskan untuk melintas jalur dan pulang melalui jalur Selo. Resikonya kami harus membawa seluruh perlengkapan kami kepuncak, artinya kami harus packing esok pagi. Kami akhirnya beristirahan sementara hujan mulai turun seolah olah menguatkan argumen kami untuk melintasi Selo.

Pagi pun tiba. Setelah menikmati dinginnya angin yang membelai sela sela jemari dan menatap gagahnya Merapi yang sedang menyendiri kami pun membongkar tenda. Kali ini kaki dan nafasku tidak bisa berkompromi. Aku mengambil langkah didepan agar dapat mengatur ritme langkah, harapanku stamina tidak kerodoran. Perlahan kami berjalan menuju puncak. Kabut yang kemarin menyelimuti lembah di samping kiri kami sudah pergi. Kini tampak jurang menganga yang memisahkan jalur yang kami lalui dengan jalur yang lain. Salah satunya adalah jalur Wekas yang dulu pernah ku lalui. Sementara dari puncak para pendaki sudah mulai turun setelah menyongsong mentari terbit di salah satu puncak Merbabu. Sementara aku melangkah di depan seorang kawan mengikuti langkah ku dibelakang sementara tiga yang lain berada agak dibelakang. Belakangan baru ku ketahui ini adalah kali pertama baginya mendaki gunung. Tentu aku harus angkat topi untuknya karena untuk pertama kalinya dia harus melintasi jalur yang tergolong menantang. Sementara ketiga kawan yang lain sudah beberapa kali mendaki gunung. Bahkan salah satunya dipercaya menjadi koordinator alias leader pada pendakian ini. Kecermatannya mengeksekusi strategi mengindikasikan pengalamannya yang mumpuni. Sangat berbeda dengan aku dan teamku selama ini, sporadis dan penuh improvisasi.

Fajar dan Edelweiss yang mulai mekar. Tampak Gunung Merapi sebagai latar tempat kami berkemah.

Pendakian kali ini memang beda dengan pendakianku yang sebelumnya. Karena meski menempuh waktu yang lebih lama dan lebih melelahkan tapi aku tidak kedodoran diawal. Sering kali aku harus berhenti dan tidur sejenak untuk memulihkan tenaga, tapi hal ini tidak terjadi pada pendakian ini. Kondisi track Suwanting yang kami lalui didominasi oleh track tanah yang cenderung licin jika kena hujan dan berdebu saat kering.

Tampak Gunung Sumbing dan Sundoro di sebelah barat.

Sejenak mengambil nafas, puncak berada di balik punggungan itu.

Gunung Merapi di belakang kami.

Tampak rombongan pendaki dari jalur lain. Puncak bukit yang mirip punuk sapi adalah jalur via Wekas yang saya lalui beberapa tahun lalu.

Kami pun mencapai puncak sebelum tengah hari. Tentu kontras dengan perjalanan pertama ku ke Merbabu. Kami memutuskan untuk menuju puncak pada dini hari sebelum waktu subuh tiba. Kondisi track dari Pos 2 Wekas ke puncak jauh berbeda dengan track sebelumnya. Jalan yang lebih curam dan jalur yang berbatu cukup mendominasi. Beberapa kali kami salah mengambil jalur dan terpaksa memutar kembali mencari jalur yang benar. Menjelang puncak kami harus bergelantungan di sisi tebing. Kami mencapai puncak sebelum matahari terbit. Tepat saat garis jingga mulai terbentuk dan mendadak semua sunyi memandangi ufuk timur yang mulai memedar keemasan. Tak lama waktu yang kami habiskan di puncak sebelum kami melanjutkan perjalanan turun.

 

View Sunrise di puncak Merbabu.

View this post on Instagram

over horizon

A post shared by @ karmula on

Foto Merapi dari puncak Kenteng Songo, saat pendakian via Wekas

Aku menghela nafas panjang sembari menyusuri jalan setapak itu. Terlalu banyak orang yang datang kesini, tanpa rasa sabar mereka turun membuat jalur baru. Jalur yang lebih pendek tapi curam. Sementara kaki sudah terasa linu, perjalanan turun harus dilewati dengan sama menyebalkannya. Jalur Selo memang jalur yang ramai dengan pemandangan sabananya. Meski harus dibayar dengan tiadanya sumber air di sepanjang jalan. Aku menduga ada ratusan orang yang datang dari Selo sehari sebelumnya. Sementara perjalanan turun sama njlimetnya dengan perjalanan naik, seorang anggota team kakinya terkilir ketika turun menyusuri punggungan bukit. Pergelangan kakinya bengkak meski langkahnya seolah tak terpengaruh. Perlahan lahan kami menuruni punggungan bukit, turunan yang curam dan track yang licin menambah kekhawatiranku pada rekan yang cidera.

Puncak Merbabu dari jalur Selo

Sabana 2 salah satu tempat berkemah favorit di jalur Selo

Perjalanan harus kami lanjutkan meski lebih pelan. Jalur curam yang sempit dan masih banyak pendaki yang naik membuat kami harus sering berhenti berbagi jalan. Dalam hati acapkali aku menyumpahi orang yang pertama kali membuka jalur ini dengan memotong kontur alih alih menyisir lereng membentuk jalur zig zag. Malam pun akhirnya tiba saat kami masih berjalan menuju basecamp Selo. Selangkah demi selangkah harus kami lalui dengan sesekali beristirahat mengingat stamina yang sudah kedodoran. Sementara masih saja kami berpapasan dengan rombongan yang akan naik ke atas.

Kami pun tiba di basecamp Selo tepat selepas Magrib. Sesuai perkiraanku, beberapa pedagang bakso sudah standby menunggu pendaki yang turun lewat Selo. Aku segera memesan lima porsi untuk seluruh anggota.

  1. Terimakasih buat Aan Kabul yang sudah mengajak saya mendaki.
  2. Selamat buat Hannif yang untuk pertama kalinya menapakkan kakinya di salah satu puncak tanah jawa.
  3. Salute untuk Nata yang tetap tabah sampai akhir meski didera cidera kaki.
  4. Dan juga Rifqy yang mengkoordinasikan pendakian ini hingga ke detail detailnya.
  5. Semua foto adalah hasil karya Aan Kabul. Foto yg berasal dari link Instagram adalah karya Salwan Suheri

4 thoughts on “Merbabu, Sebuah Upaya Merawat Ingatan

  1. Luar biasa! Meramu dua cerita pengalaman yang berbeda waktu dan jalur pendakian untuk gunung yang sama. Malah penasaran karo Wekas wkwkwk.

    Asyik mas ceritane, syahdu. Foto-fotone mas Aan aik tenan jos. Malah pengin mbaleni neh hahaha. Suwanting PP? HAHAHA.

    Jangan kapok ya nek diajak munggah maning? Opo pantai ae? Hahaha

    Like

    1. Wah, seneng beut di kunjungi oleh penulis yg owesem dan kaya pengalaman seperti Mas Rifqy. Ojo Merbabu maneh lah, mosok ceritane nambah dadi 3 jalur.
      Tekad tetep ada, walau umur ga bisa dikelabuhi.

      Heuheuheu

      Liked by 1 person

Leave a comment